Berbekal uang
tiga juta rupiah yang ia kumpulkan dari gajinya semasa masih bekerja di
Surabaya sebagai pembantu rumah tangga (PRT)
delapan tahun silam, Ifrochah atau biasa dipanggil dengan sebutan Iif ini, kini
sukses mengembangkan usaha prancangan (bumbu dapur) dan mainan miliknya yang
berlokasi di dalam pasar Sumberrejo. Dari dua kios yang telah dikelolanya
tersebut, satu diantaranya telah resmi menjadi miliknya pribadi sementara satu
lainnya masih berstatus kontrak yang mana lokasinya saling berhadap-hadapan
dengan nomor kios A-133 dan A-294 di lantai dasar pasar Sumberrejo.
Alumni Attanwir
tahun 2002 ini mulai merintis usahanya tersebut semenjak tahun 2006, tepatnya
setelah ia menikah dengan Ahmad Hasanuri, lelaki yang hingga saat ini masih
setia mendampinginya dalam suka maupun duka. Wanita berparas cantik ini
bercerita, saat itu beberapa bulan setelah menikah, suami yang amat dicintainya
tersebut tak kunjung juga mendapat
pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Akhirnya, berbekal uang tabungan yang telah ia kumpulkan selama menjadi
pembantu rumah tangga (PRT) di Surabaya itu ia gunakan sebagai modal awal
suaminya untuk berjualan.
Setelah berpikir
keras tentang usaha apa yang hendak dijalankan dengan modal yang terbatas itu,
akhirnya mereka sepakat untuk berjualan mainan anak-anak yang akan suaminya
jajakan secara berkeliling ke sekolah-sekolah sekitar tempat tinggalnya di
kawasan Sumberrejo dan sekitarnya. Sementara, Ifrochah sendiri berjualan prancangan
(bumbu dapur) dengan menyewa sebuah kios mungil berukuran 2 x 1,5 M yang ia
sewa dari pengelola pasar Sumberrejo sebelum akhirnya tempat tersebut resmi
menjadi miliknya.
“Sejak kecil,
saya sudah mulai mandiri dan tidak ingin terlalu merepotkan kedua orang tua
saya yang notabanenya hanyalah buruh tani dengan penghasilan yang tidak
seberapa. Terlebih lagi, kami adalah keluarga besar dimana saya adalah anak
kedua dari tujuh orang saudara. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya hidup kami
saat itu” akunya.
Melihat kondisi
keluarganya seperti itu, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, dia sudah
belajar mencari uang sendiri demi meringankan beban keluarganya. Satu
diantaranya adalah dengan bekerja sebagai karyawan pembuat kerupuk di industri
rumahan milik tetangganya semasa masih tinggal bersama orang tuanya di Desa
Bulu. Setelah itu, ia memutuskan untuk ikut bibinya berjualan sembako di pasar
Sumberrejo sampai lulus Aliyah. Pekerjaan tersebut ia lakukan sebelum berangkat
dan selepas pulang sekolah. Selebihnya, waktu yang ada ia gunakan untuk
membantu pekerjaan bibinya di rumah.
Lulus Aliyah, ia
mencoba peruntungan dengan merantau ke Surabaya. Akan tetapi, bukannya mendapat
pekerjaan yang lebih layak, dia malah menjadi pembantu rumah tangga yang hanya
mampu dilakoninya selama 6 bulan saja. Karena tak betah bekerja dengan orang
lain dan jauh dari rumah, akhirnya ia putuskan kembali ke kampung halamannya
dan bekerja kembali dengan bibinya sampai ia menikah dengan pria pilihan
hatinya, Ahmad Hasanuri.
Dari sinilah
titik hidupnya perlahan mulai berubah, mau tidak mau dia dan suaminya harus
memiliki pekerjaan tetap untuk menopang kelangsungan hidup mereka , hingga
akhirnya terbesitlah keinginan untuk memiliki usaha sendiri. Dengan modal 3
juta hasil tabungannya tersebut, akhirnya ia bagi dua dengan suaminya. Suaminya
berjualan mainan, sementara dia berjualan bumbu dapur sesuai dengan
pengalamannya semasa masih ikut dengan bibinya berjualan sembako di pasar.
“Alhamdulillah,
mulai saat itu kami sudah memiliki penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari” kenangnya haru.
Tak lama setelah
ia membuka usaha prancangannya, kebetulan ada kios yang hendak disewakan dan
tepat berada di depan kios tempatnya berjualan bumbu dapur. Secepat kilat
insting bisnisnya berkata bahwa dia harus menyewa tempat tersebut. Akhirnya
benar, kios tersebut segera disambarnya (baca : disewa) untuk ditempati menyetok mainan yang hendak dijajakan oleh
suaminya secara berkeliling. Praktis sejak saat itu, ia mulai mengelola dua
kios, sementara suaminya tetap berjualan dengan sistem jemput bola alias
berkeliling ke tempat-tempat strategis, layaknya sekolah-sekolah dasar dimana
anak-anak kecil belajar.
Dalam berbisnis,
tentunya ada saja kendala yang ia dapatkan, salah satunya adalah mulai
menjamurnya agen-agen mainan yang kini ada dimana-mana. Untuk mengatasi hal
tersebut, dia dan suaminya memiliki kiat khusus agar barang dagangannya tetap
laku. Solusinya adalah menjual barang dagangannya lebih murah, sehingga barang
yang lakupun akan semakin banyak meskipun keuntungan yang didapatkan dari tiap
barangnya tidaklah terlalu besar. Meskipun murah, bukan berarti menjatuhkan
harga barang di pasaran. Akan tetapi, menjual dengan margin keuntungan yang
tidak terlalu besar dari harga pokoknya.
“Untuk
mempertahankan pelanggan lama dan menggaet pelanggan baru, kami mematok harga
yang sewajarnya saja. Asal sudah ada keuntungan sedikit, menurut kami itu sudah
cukup dari pada mengambil untung besar tapi barang lama lakunya” ungkapnya.
Ternyata benar,
dengan sistem seperti itu usahanya tetap mampu bertahan di tengah derasnya
persaingan bisnis mainan anak-anak akhir-akhir ini. Kini, berkat ketekunannya
berjualan bumbu dapur dan mainan anak-anak tersebut, dia dan suaminya telah
mampu membeli sebuah rumah sederhana berukuran 7 x 12 M seharga 50 juta yang ia
dan suaminya bayar secara bertahap sampai akhirnya dapat terbayar lunas dan
resmi menjadi miliknya
Merasa telah
bisa hidup mandiri, ia pun tak melupakan kehidupan para saudaranya. Bahkan,
dari dulu ia selalu berusaha untuk bisa membantu adik-adiknya agar bisa tetap
bersekolah, minimal sampai jenjang Sekolah Menengah Atas atau sederajat. “Saya
berprinsip, jangan pernah sampai membebani kehidupan orang tua. Kalau bisa,
sedapat mungkin saya harus sanggup meringankan beban orang tua” katanya serius.
Kini, masih ada
beberapa impiannya yang belum dapat terealisasi. Salah satunya adalah membeli
kios tempatnya berjualan mainan secara permanen tanpa harus mengontraknya lagi.
1 comments:
Semoga dapat menginspirasi
Post a Comment