Menjadi seorang konselor atau penyuluh
di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) tentunya
bukanlah cita-cita masa kecilnya. Terlebih lagi, pekerjaan yang ia lakukan saat
ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan Matematika yang ia pilih
saat kuliah di UIN Maliki Malang. Lalu, bagaimana ceritanya Umi Khorirotin
Nasichah, alumni Attanwir tahun 2007 ini lebih konsen ke ilmu psikologi dan
hukum dari pada matematika yang menjadi jurusannya saat kuliah. Yuk, kita simak
profil singkatnya berikut ini.
Merantau ke kota kembang dan kuliah di
salah satu PTN ternama di Malang menjadi pilihannya pasca lulus dari Aliyah.
Disana, wanita yang berasal dari Desa Ngemplak Kecamatan Baureno ini memilih
jurusan Matematika di Fakultas Saintek UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan
harapan seuasai lulus nanti minimal akan menjadi seorang guru seperti
kebanyakan alumni lainnya. Namun, harapan masa lalunya tersebut akhirnya tak
pernah terealisasi. Sebab, karena keaktifannya mengikuti dan mempelajari isu-isu
perempuan dan anak selama menjadi aktifis PMII ini telah mengantarkannya
menjadi Konselor di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Kabupaten Malang.
“Kebetulan saat menjadi aktifis saya
banyak belajar tentang isu perempuan dan anak sehingga saat ada tawaran untuk
mengabdi di P2TP2A, saya tak menolak” katanya.
Wanita yang telah menikah pada tahun
2012 ini menjelaskan sebagai seorang konselor ia bertugas untuk mendampingi
perempuan dan anak korban kekerasan dengan melakukan proses rehabilitasi berupa
pendampingan psikologis, kesehatan, spiritual, hukum, serta
melakukan trauma healing agar korban
bisa melupakan trauma akibat kekerasan yang telah dialaminya sampai akhirnya
mereka siap kembali ke lingkungannya.
“Di P2TP2A kami menangani ratusan
kasus kekerasan, mulai dari pemerkosaan, KDRT, perebutan anak, anjal, anak
terlantar dan lain sebagainya. Akan tetapi, kebanyakan yang terjadi adalah
kasus kekerasan seksual (pemerkosaan)” terangnya.
Istri dari Winartono ini menambahkan,
hal yang paling sulit dalam proses pendampingan adalah memulihkan kejiwaan
korban pemerkosaan. Terlebih lagi, kalau korban masih dalam kategori anak-anak
atau remaja dan hamil akibat peristiwa tersebut. Maka, pendampingan yang
dilakukan pun harus lebih intensif.
“Biasanya untuk kasus-kasus seperti
itu kami melakukan pendapingan secara intensif selama 4-6 bulan sampai mereka
dapat hidup normal kembali seperti sedia kala” ujarnya.
Pengurus Cabang Fatayat NU Kabupaten Malang
ini mengatakan rata-rata korban berasal dari keluarga kurang mampu. Sehingga
tak jarang pihaknya pun turut mencarikan beasiswa ataupun modal untuk mereka
bersekolah dan membuka usaha.
“Jika korban masih berstatus pelajar,
kami turut mencarikan beasiswa bagi meraka agar dapat melanjutkan pendidikannya
kembali. Kalaupun korban memiliki anak, kamipun masih memberikan bantuan untuk
mereka, minimal membelikan susu untuk bayi korban. Namun, kalau korban adalah perempuan
dewasa, kami juga mengupayakan agar mereka hidup mandiri dengan memberikan
mereka modal usaha yang dananya kami ambilkan dari APBD ataupun sumber lainnya
yang halal dan tidak mengikat seperti Dinas Sosial, Lazis, dan orang-orang yang
memang peduli” imbuhnya.
Sebagai seorang konselor, tentunya ia
harus banyak belajar tentang psikologi dan hukum. Sebab, pekerjaannya saat ini
menuntutnya untuk bisa memahami kondisi kejiwaan korban serta langkah-langkah
hukum apa yang harus diambil untuk menolong para korban yang didampinginya
tersebut.
“Di P2TP2A saya banyak belajar ilmu
psikologi dan hukum dari teman-teman konselor lainnya yang lebih dulu ada di
P2TP2A. Selain itu, saya juga punya beberapa sahabat karib, diantaranya adalah
seorang sarjana psikologi yang juga bergelut di bidang yang sama dengan saya,
hanya saja beda kota dan seorang lagi master hukum yang sekarang berprofesi sebagai advokat di kota Surabaya.
Disamping itu, di waktu-waktu luang, saya juga banyak membaca buku-buku maupun
artikel-artikel psikologi serta undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang
sedang saya tangani” akunya.
Terakhir, wanita berparas cantik ini
berpesan kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dihindari apabila ada
perhatian dari lingkungan sekitar mereka. Karena, hampir semua anak yang
menjadi korban kekerasan adalah mereka yang berasal dari keluarga bermasalah (cerai, kurang kasih sayang, tidak harmonis, ortu nakal, buruh
migran) dan keluarga miskin. Maka, sebisa mungkin orang tua melindungi
anak-anaknya dengan membentuk pola komunikasi yang baik dengan anak, menjadi
sahabat anak, mengikuti perkembangan anak dengan cara memantau lewat sekolah,
HP, dan sosial media milik mereka.
Selain itu, orang tua harus selalu
memberikan pengertian kepada anak untuk selalu menjaga tubuhnya agar tidak dι̥sentuh oleh orang lain selain dirinya. Apa yang boleh dan
tidak boleh di sentuh oleh orang lain. Memberikan kasih sayang dan perhatian
dengan menjadi sahabat anak agar dia tidak mencari orang lain untuk mendapatkan
kasih sayang. Waspadai semua orang d sekitar anak, karena semua orang
berpeluang menjadi pelaku kekerasan. Anak harus diajari menceritakan semua yang sudah dialaminya
agar bila terjadi kekerasan bisa tindak secara dini.
“Kenali
siapapun dι̥sekitar anak kita, tetapi jangan mnunjukkan over protektif kita ke anak, itu justru akan membuat anak tidak
nyaman. Yang
terpenting ciptakan suasana nyaman dalam keluarga agar anak lebih betah dι̥
rumah” pungkasnya.
1 comments:
Semoga bermanfaat
Post a Comment